tholearisbudianto.blogspot.com

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi yang lain..

Jangan biarkan hidup kita terpuruk di 'masa lampau' atau dalam mimpi masa depan. Satu hari hidup pada suatu waktu berarti hidup untuk seluruh waktu hidupmu.

Masterpiece karya Allah: Menemukan Kembali Al Qur’an
Oleh: Cak Nun

Rata-rata 4 kali perminggu saya mengalami forum dengan ratusan atau ribuan orang. Kalau di luar negeri, tentulah audiensnya puluhan atau ratusan, kecuali di Malaysia. Sekitar 85% audiensnya adalah orang beragama Islam. Forum itu sendiri 60% acara Kaum Muslimin, 30% umum, 10% forum khusus saudara non-Muslim. Perjalanan keliling itu berlangsung puluhan tahun, dan sepuluh tahun terakhir ini frekwensinya meningkat sekitar 30%.

Tentu sangat banyak saya berguru pada mereka, sangat tidak seimbang dengan amat sedikitnya manfaat yang saya bisa kontribusikan. Saya, sendiri atau bersama KiaiKanjeng, berposisi amat berterima kasih kepada publik, sementara hak kami untuk diterimakasihi sangat sedikit.

Saya kisahkan di sini satu hal: bahwa saya tidak pernah menyia-nyiakan perjumpaan dengan banyak orang untuk melakukan semacam direct research kecil-kecilan. Mungkin lebih bersahaja: jajag pendapat, tentang sejumlah hal prinsipil nilai orang hidup berbangsa, beragama dan bernegara. Serta sejumlah konteks aktual yang durasi dan akurasinya tidak berlaku terlalu lama. Itupun lebih saya persempit lagi: yakni sejumlah jajag pendapat dengan berbagai-bagai kalangan Ummat Islam.

Yang hasilnya terlalu lucu, naif atau sangat kurang berpengetahuan, sebaiknya tidak saya paparkan, agar saya tidak menjadi komoditas bagi penjaja tema pelecehan Islam. Umpamanya saya bertanya: “Rasulullah menyatakan bahwa Ummat Islam akan terbagi menjadi 73 bagian, yang diterima Allah hanya satu. Anda semua ini termasuk yang 72 atau yang 1?”. 100% ummat yang saya jumpai di berbagai wilayah, strata dan segmen, menjawab sama: “Yang 1″.

Yang paling terasa pada publik Islam adalah ketidaksanggupan massal untuk membedakan antara kemungkinan, kenyataan dan keinginan. Jawaban “Yang 1″ itu rata-rata tidak mereka kejar ke dalam diri mereka sendiri apakah itu keinginan, kemungkinan ataukah kenyataan. Terlalu jauh kalau saya menuntut mereka cukup memiliki parameter untuk mengukur tingkat kemungkinan dan kadar kenyataan mereka akan diterima Allah atau tidak, sebab kelihatannya ruang batin mereka sudah sangat dipenuhi oleh keinginan, yang tak terurai secara rasional dan intelektual.

Terkadang saya menggoda: “Ibu-ibu Bapak-bapak, mohon maaf saya sendiri menemukan diri saya di antara yang 72 golongan. Saya penuh dosa dan ketersesatan, sehingga sama sekali tidak berani menyatakan bahwa saya akan pernah diterima oleh Allah. Kelihatannya kans saya untuk masuk neraka lebih besar dibanding masuk sorga.”

Sering saya menyesal atas pernyataan seperti itu, karena jelas saya memberi beban pikiran dan kegelisahan hati yang menambah keruwetan hidup mereka yang sudah sangat ruwet oleh Indonesia. Apalagi mereka rata-rata tidak punya kapasitas untuk mengidentifikasi apakah pernyataan saya itu bersifat intelektual ataukah bernuansa kultural — sebagaimana sahabat kita yang kaya menawari kita “Ayo mampir dong ke gubug saya…”. Padahal harga rumahnya 5M.

Di saat lain saya bertanya: “Kalau pergi umroh atau haji, ketika berthawaf: Sampeyan cenderung mendekat-dekat ke Ka’bah termasuk supaya bisa mencium Hajar Aswad, ataukah cenderung meletakkan diri jauh-jauh dari rumah Allah?”. 100% menjawab “mendekat-dekat ke Ka’bah”. Terhadap dialog tema ini kadang saya menggoda: “Mohon maaf saya sendiri termasuk orang yang takut-takut mendekat ke rumah Allah. Datang ke Mekkah saja pekewuh. Bahkan ketika berthawaf saya hanya berani melirik sedikit-sedikit atau mencuri pandang ke Ka’bah. Sebab saya tidak merasa pantas bertamu ke rumah Allah. Bau saya busuk, kelakuan saya buruk, tidak ada cukup kepantasan untuk berada di dekat rumah Allah”.

Terkadang saya terpeleset untuk mengungkapkan : “Coba Sampeyan sebut satu saja Nabi dan Rasul yang pernah menyatakan bahwa dirinya baik. Setahu saya hampir semua menyatakan dirinya dhalim”.

Di saat lain rajin saya bertanya kepada Ummat Islam: “Apa bekal utama manusia untuk menjadi Muslim yang baik?”

100% menjawab: “Qur’an dan Hadits”. Sungguh-sungguh sangat lama saya merindukan ada jawaban yang berbeda, dan sampai hari ini belum Allah perkenankan. Memang begitu sucinya, begitu sakral dan utamanya Kitab Suci Allah dan penuturan Rasul-Nya, sehingga Ummat Islam kebanyakan lupa pada kalimat kecil di Kitab Suci itu sendiri: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai masterpiece…” Inna khalaqnal insana fi ahsani taqwim.

Karya Allah yang tertunggul dan tertinggi derajatnya bukan Malaikat, bukan Al Qur’an, melainkan manusia.

Dengan sedih terpaksa saya katakan bahwa modal utama manusia untuk menjadi Muslim bukan Al Qur’an, melainkan akal.

Tidak fair kalau bekal utama manusia untuk menjadi Muslim adalah Al Qur’an. Pertama, jaman pasca-Muhammad hingga sekarang jauh lebih singkat dibanding pra-Muhammad sejak Adam AS. Kedua, kalau Qur’an adalah modal utama, harus kita pastikan bahwa semua Nabi Rasul dan ummat manusia sebelum Muhammad bukanlah Muslim. Dengan kata lain harus kita batasi kepercayaan dan wacana Islam hanya dimulai sejak kerasulan Muhammad. Ketiga, AlQur’an bukan makhluk hidup. Ia tidak bisa menjadi subyek aktif atas proses berlangsungnya kehidupan manusia. Al Qur’an bukan pelaku perubahan, pembangunan, sejarah dan peradaban ummat manusia. Al Qur’an itu alat perubahan.

Keempat, untuk menyebut secara sederhana: Al Qur’an 100% sia-sia bagi manusia yang tidak menggunakan modal utamanya sebagai manusia, yakni aktivitas akal. Al Qur’an jangan disodorkan kepada kambing, meskipun ia punya otak. Sedikit ke cabang: otak itu hardware. Untuk membuat otak melakukan pekerjaan berpikir, diperlukan software yang bernama akal. Al’aql. Akal tidak terletak, atau sekurang-kurangnya tidak berasal usul dari dan di dalam kepala manusia, melainkan berasal dari semacam mekanisme dialektika yang dinamis dari luar diri manusia, mungkin semacam gelombang elektromagnetik yang berpendar-pendar di seluruh lingkup alam semesta, namun dikhususkan menggumpal dan mengakurasi ke seputar ubun-ubun kepala setiap manusia.

Oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan “Apakah engkau tidak berpikir?” “Apakah engkau tidak menggunakan akal?”. Masyarakat Barat dan Jepang Korea Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. Kaum Muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas. Tetapi memang tidak mengherankan jika Ummat islam stuck dalam hal ijtihad. Alfikr itu pikiran, kata kerjanya yatafakkar, berpikir. Al-aql itu akal: bahasa Indonesia hanya kenal kata kerja “mengakali” dari kata dasar akal. Mengakali itu pekerjaan sangat mulia: ialah memandang dan memperlakukan segala sesuatu dengan daya akal. Tetapi “mengakali” dalam bahasa Indonesia adalah menipu, mencurangi, menyiasati dalam konotasi negatif.

Agak aneh Allah memerintahkan “Taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amr di antara kalian”, tetapi yang terjadi adalah ketaatan kepada para penerus Rasul atau yang dianggap oleh umum atau yang menganggap dirinya penerus Rasul — namun tanpa tradisi ijtihad, sementara ulul amr, “petugas urusan-urusan” tak pernah ditegasi konteks dan subyeknya. Apakah Ulama mengurusi petani dan pertanian sehingga ditaati? Apakah Ustadz mengurusi pasar dan penggusuran sehingga dipatuhi? Apakah Kiai mengurusi, menguasai, memahami, mengerti dan mendalami teknologi, industri, ketatanegaraan, konstitusi dan hokum, pemetaan sosial masyarakat, hutan, sungai, laut, sehingga dipatuhi?

Hampir tak pernah terdengar fatwa tentang kehidupan nyata manusia dan masyarakat. Barusan ada fatwa satu tentang nuklir: cabang bilang haram, pusat bilang halal. Bagaimana kok ada organisasi cabangnya haram pusatnya halal. Bagaimana ada makhluk tak jelas Malaikat atau Setan. Ada satu lagi saya simpan fatwa tentang jual beli dang ganti rugi: mudah-mudahan jangan ada versi counter fatwa, karena fatwa itu tidak didasari konsiderasi ilmiah dan penelitian rasional apapun.

Islam tumbuh di Musholla dan Masjid, bertahan kerdil dalam kesempitan dan kejumudan. Pengadilan Agama hidup dari konflik-konflik rumahtangga, tidak berususan dengan keadilan keuangan rakyat, dengan keadilan atas sungai dan hutan, dengan keadilan politik, perekonomian, ekosistem, internet — sesekali muncul dari pintu belakang fatwa dan pernyataan keadilan halal dan haram tentang Presiden wanita haram, beberapa tahun kemudian berbalik menjadi halal berdasar sisi kepentingan yang sedang disangga.

Pemain-pemain sepakbola diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih oleh expert sepakbola, pelatih dan official. Kiai, Ulama, Ustadz diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih berdasarkan mata pandang industri dan kepentingan komersial. Orang Islam terlalu jauh meninggalkan akal sebagai modal utama kemuslimannya. Mereka salah sangka terhadap Al Qur’an, dan kurang peka memikirkan kemungkinan bahwa Iblis dan Setan sejak jaman dahulu kala sudah fasih membaca Quran dan mungkin menghapalnya, sebagai satu bagian strateginya untuk mengalahkan manusia.

Demikianlah sikap kaum Yahudi pada umumnya bilamana diajak kepada agama Allah. Mereka tidak memiliki obyektifitas sedikitpun bila diajak untuk menerima hidayah dan kebenaran. Mereka sangat keras kepala dan membabi buta mempertahankan ideologi rasialisme dan fanatisme kelompok. Sehingga orang yang semula mereka katakan baik dan mulia serta-merta mereka hina dan caci bilamana orang tersebut menerima kebenaran agama Islam yang berarti harus meninggalkan agama asalnya, yaitu Yahudi.

Pilihan hanya ada dua: menjadi seorang muslim lemah-lembut sambil sadar bahwa kapanpun kewajiban jihad telah muncul, maka ia harus bersegera menyambutnya. Atau menjadi seperti  para dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Yaitu mereka yang membeo kepada fihak penguasa global kafir dari kalangan ahli Kitab. Mereka ikut menyuarakan apa saja yang disuarakan penguasa global sehingga jika disuruh masuk ke lubang biawak sekalipun, maka para da’i palsu inipun ikut saja. Na’udzubillahi min dzaalika.

Perubahan tinggal hanya mennunggu waktu. Janganlah selalu terlekat oleh masa lalumu. Biarkan masa lalu tertinggal. Tataplah masa depan yang cerah secerah harapan di pagi hari. Selamat bermuhasabah. Semoga Allah selalu menyertai langkah kita. amin...

TEGALSARI - PONOROGO

SELAMAT DATANG DI BLOG tholearisbudianto.blogspot.com
Smart PageRank button
Smart PageRank button

Selamat Datang

Ahlan wa Sahlan bi Khudhurikum..

Footer

jam on line

Powered By Blogger
Aris Budianto. Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto saya
Hari ini adalah realita yang harus dihadapi, kemarin adalah pelajaran, dan besok adalah masa depan.

Followers